PROSPEK BUDIDAYA CABAI JAWA
Sosok tanaman cabai jawa (cabé, Long Pepper,
Indonesian Long Pepper, Piper longum, Piper retrofractum), mirip dengan lada
(Piper nigrum), kemukus (Piper cubeba), dan sirih (Piper betle), karena empat
tanaman ini memang masih merupakan satu genus. Genus piper sendiri terdiri dari
1000 sampai dengan 2000 spesies tumbuhan, berupa semak, herbal maupun liana.
Empat spesies piper tadi merupakan terna memanjat yang tumbuh di tanah, namun
batangnya melekat pada batang tumbuhan lain dengan akar lekatnya.
Daun cabe jawa sama dengan daun sirih, berbentuk
jantung dengan lebar 6 – 10 cm. dan panjang antara 9 – 13 cm. Permukaan daun
cabe jawa sedikit berlekuk-lekuk, tidak licin seperti permukaan daun sirih.
Tepi daun rata, warna hijau gelap. Sepintas, masyarakat sulit untuk membedakan
tanaman lada, cabe jawa dan kemukus. Tiga tumbuhan penghasil rempah ini memang
sulit dibedakan satu sama lain, namun ketiganya mudah dibedakan dari
sirih. Bahkan lada dengan kemukus benar-benar sulit dibedakan oleh mata awam, termasuk
buahnya.
Cabai jawa baru mudah dibedakan dari kemukus dan
lada, dari bentuk buahnya. Buah lada dan kemukus berupa butiran hijau
berdiameter 0,5 cm, yang terkumpul dalam satu tangkai (malai, dompolan).
Dompolan lada, lebih panjang dan lebih rapat ditempeli buah, dompolan kemukus
pendek dengan buah lebih jarang. Buah cabai jawa, sebenarnya sama dengan lada
dan kemukus, terdiri dari butiran-butiran yang menempel pada satu tangkai.
Namun butiran buah cabai jawa menyatu hingga tampak hanya sebagai satu buah utuh,
berdiameter 1 cm, dengan panjang 5 cm.
# # #
Sepintas buah cabai jawa mirip dengan es lilin
mini, atau buah anthurium, dengan permukan berbintik-bintik, yang menandakan
keberadaan buah/biji. Buah cabai jawa berwarna hijau dan akan berubah menjadi
merah ketika sudah masak. Lada, kemukus, dan cabai jawa, berdaging buah sangat
tipis tetapi manis. Burung pemakan buah menyenangi biji tanaman rempah ini.
Setelah terfermentasi dalam perut burung, biji akan dikeluarkan utuh bersama
fases, dan tumbuh di lokasi yang jauh dari induk mereka.
Cabai jawa biasa dipanen ketika berwarna hijau
kekuningan, dan tidak menunggu sampai benar-benar merah. Setelah dipanen, buah
dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Sebelum bangsa Eropa
menemukan Benua Amerika, cabai jawa merupakan mata dagangan yang sangat
penting. Peradaban Jepang, Cina, India, Timur Tengah dan Eropa, sangat
tergantung dengan komoditas cabai jawa sebagai salah satu bahan rempah, bersama
dengan cengkeh, pala, kayumanis, kapulaga, kemukus dan lada.
Bahkan lada hitam, yang merupakan biji Piper nigrum
muda utuh dikeringkan, sering dianggap sama dengan cabai jawa. Masyarakat
Eropa, ketika itu memang menganggap cabai jawa, dan lada hitam sebagai
komoditas bumbu yang bisa saling menggantikan. Bahkan para ahli botani, ketika
itu yakin bahwa cabai jawa, kemukus dan lada hitam berasal dari tumbuhan yang
sama. Justru lada putih diperkirakan merupakan spesies tanaman tersendiri, yang
beda dengan lada hitam, kemukus dan cabai jawa.
Setelah Cristopher Columbus (1451-1506), menemukan
Benua Amerika, mulai dikenal tumbuhan dari benua baru itu. Jagung, kentang,
singkong, ubi jalar, nanas, pepaya dan terutama cabai (Chlli papper, Capsicum
Sp). Dengan dikenalnya cabai, maka popularitas cabai jawa langsung pudar. Sebab
yang diharapkan dari cabai jawa, terutama hanya rasa pedasnya. Beda dengan
lada, pala, cengkeh, kapulaga, dan kemukus, yang terutama diharapkan aromanya.
Cabai Chilli Papper, bisa menghasilkan rasa pedas beberapa kali lipat dibanding
cabai jawa.
# # #
# # #
Selain rasanya lebih pedas, cabai Chilli Papper,
terlebih Hot Chilli Papper, juga lebih mudah dibudidayakan secara massal
dibanding cabai jawa. Setelah dibawa ke Eropa dari Amerika Tengah dan Latin,
cabai Chilli Papper yang kemudian lebih dikenal sebagai cabai rawit, cabai
merah besar, cabai keriting, serta aneka cabai lainnya, segera menjadi
komoditas penting dunia. Termasuk di Indonesia. Sekarang, masyarakat justru
lebih mengenal cabai rawit dan cabai keriting, dan merasa asing dengan cabai
jawa.
Meskipun pamor cabai jawa sudah pudar, namun
komoditas ini tetap masih diperlukan oleh masyarakat. Di Afrika Utara, Timur
Tengah, India dan Asia Tenggara, terutama Indonesia, cabai jawa tetap merupakan
komoditas penting. Di Afrika Utara, Timur Tengah dan India, beberapa resep
masakan, tetap masih menggunakan cabai jawa. Di Indonesia, cabai jawa tidak
hanya digunakan sebagai bumbu masakan, melainkan juga bahan jamu. Itulah
sebabnya di Jawa, cabai jawa juga sering disebut sebagai cabai jamu, untuk
membedakannya dengan cabai bumbu dapur.
Di Jawa Tengah, istilahj cabé, jelas mengacu pada
cabai jawa. Sebab cabai sebagai bumbu dapur disebut lombok. Salah satu resep
masakan yang populer menggunakan cabai jawa adalah gulé jamu atau gecok
kepala/kaki kambing. Gulé jamu atau gecok, adalah gulai kepala dan kaki
kambing, yang bumbunya ditambah dengan cabai jawa. Bumbu gulai kambing (jawa)
adalah bawang merah/putih, cabai merah/rawit, lada, pala, cengkeh, kapulaga,
sereh, garam, dan santan kelapa. Khusus gulé jamu atau gecok, masih ditambah
dengan cabai jawa.
Namun sekarang, penyerap terbesar komoditas cabai
jawa adalah perusahaan jamu. Salah satu bahan jamu godog (rebus), adalah cabai
jawa. Perusahaan-perusahaan jamu besar seperti Air Mancur, Jago, Sido Muncul,
juga memerlukan cabai jawa, meskipun dalam volume yang tidak sebesar temulawak,
dan kunyit. Harga jabai jawa dan kemukus, biasanya di atas lada. Kalau harga
lada putih/hitam berkisar sekitar Rp 20.000,- per kg. maka harga kemukus dan
cabai jawa sekitar Rp 40.000,- per kg. di tingkat pedagang.
# # #
Karena kebutuhannya sangat kecil dibanding dengan
lada, maka fluktuasi harga cabai jawa, juga kemukus, relatif tidak ada. Beda
dengan lada yang ketika 1 US $ bernilai Rp 15.000,- harga lada putih mencapai
Rp 100.000,- per kg, dari harga sebelumnya yang hanya Rp 8.000,- Ketika itu
harga cabai jawa dan kemukus hanya mengalami kenaikan kurang dari 50% dari
harga semula. Dengan stabilnya harga, cabai jawa merupakan alternatif komoditas
yang layak dibudidayakan.
Cabai jawa, harus dibudidayakan dengan tiang atau
pohon panjatan, seperti halnya sirih, lada dan kemukus. Di Jawa Tengah, umumnya
masyarakat menanam cabai jawa dengan merambatkannya pada pohon tanaman peneduh.
Misalnya lamtoro, gamal, dan dadap. Kadang-kadang, cabai jawa juga ditanam
dengan merambatkannya pada pohon buah seperti mangga, rambutan, dan duku.
Meskipun memerlukan peneduh, cabai jawa tidak menghendaki naungan yang terlalu
rapat. Hingga ia lebih cocok dirambatkan pada tanaman lamtoro, yang tajuknya
tidak sangat transparan.
Meskipun menghasilkan biji, cabai jawa tidak pernah
dibudidayakan dengan benih generatif. Benih cabai jawa selalu berupa stek,
rundukan, dan pemisahan anakan. Sama dengan lada dan kemukus, benih stek
paling banyak digunakan dalam budidaya cabai jawa. Ada dua macam bahan stek,
yakni stek cabang (ruas) dan stek pucuk (tunas). Cabang yang digunakan sebagai
bahan stek, harus berupa ruas produktif, yang tunasnya masih hidup. Ruas tua
yang tunasnya sudah mati, tidak cocok digunakan sebagai bahan stek.
Biasanya, stek disemaikan terlebih dahulu dalam bak
pasir yang terlindungi dari terik matahari. Setelah tunas dan akar mulai
tumbuh, stek dipindahkan ke polybag atau kantong plastik kecil, serta ditaruh
di lokasi yang terkena sinar matahari sekitar 30%. Setelah benih tumbuh menjadi
anakan dengan daun dan akar cukup, baru dipindahkan ke lapangan. Meskipun cabai
jawa mutlak memerlukan pohon sebagai panjatan, dia tidak akan tumbuh baik kalau
ditanam di bawah tanaman yang lingkar batangnya sudah terlalu besar.
# # #
Cabai jawa memerlukan lahan dengan struktur tanah
gembur yang kaya humus dan bahan organik. Elevasi tumbuhnya dari 0 m. dpl sd.
1000 m.dpl. dengan elevasi optimal antara 400 sd. 800 m. dpl. Curah hujan
minimal 2000 mm. per tahun. Beda dengan lada yang feasible dibudidayakan secara
monokultur, maka cabai jawa lebih cocok dibudidayakan bersama dengan kopi,
kakao, dan kapulaga. Lamtoro, gamal, dan dadap sebagai peneduh tiga komoditas
tadi, sekaligus digunakan sebagai panjatan cabai jawa.
Dengan pola penanaman seperti ini, petani bisa
memperoleh nilai tambah dari kebun kopi, kakao dan kapulaga mereka. Pola
penanaman seperti inilah yang selama ini dilakukan oleh para petani cabai jawa
di Kabupaten Semarang, Kendal, Temanggung, Magelang dan Boyolali di Jawa
Tengah. Bahkan mereka biasanya mengoptimalkan kebun dengan sekaligus
membudidayakan kopi, kapulaga, kayumanis, kemukus dan cabai jawa sekaligus.
Dengan pola penanaman yang padat seperti ini, cashflow mereka akan lebih baik.
Sebab kopi hanya bisa dipanen setahun sekali.
Kayumanis hanya bisa dipanen kulitnya (batangnya ditebang) setelah di atas 10
tahun. Tetapi kapulaga, kemukus dan cabai jawa, bisa dipanen tiap hari,
meskipun volumenya sangat kecil. Bagi masyarakat pedesaan, pendapatan tiap hari
ini akan sangat menolong perekonomian mereka. Hingga paling tidak setiap dua
hari sekali mereka akan pergi ke ladang memanen kapulaga, kemukus dan cabai
jawa, untuk dibawa ke pasar keesokan harinya. (R) #
((http://foragri.wordpress.com/2011/06/08/prospek-budidaya-cabai-jawa/))
0 komentar